Opini

Mahkamah Agung Regional

PAGI itu Maret lalu adalah puncak keterpurukan peradilan di Indonesia, bahkan beberapa ahli hukum menyebutnya sebagai “hari kematian peradilan Indonesia.” Pasalnya, tidak tanggung-tanggung Ketua Mahkamah Agung diisukan menerima suap 5 milyar rupiah, dan sebagai kelanjutannya ruangan kerja “sang ketua” dibongkar-periksa oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bersyukur bahwa akhirnya isu itu tidak terbukti, dan hanya beberapa orang yang didakwa terlibat langsung dalam kasus penyuapan itu yang kemudian diproses di pengadilan.

Meski demikian harus disadari bahwa kepercayaan publik terhadap para Hakim Agung sepertinya telah hilang di tengah reformasi hukum yang didambakan. Padahal sebelumnya amanah reformasi telah melahirkan pemikiran-pemikiran cerdas untuk menata lembaga peradilan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, agar era kegelapan pemberian keadilan (dark ages in justice dispenser function) dapat diakhiri.

Dalam hal penataan itu, sedikitnya telah dilakukan dua langkah besar oleh Mahkamah Agung. Pertama, melakukan rekrutmen anggota Hakim Agung dari luar jalur karier. Langkah ini dilandasi oleh pemikiran bahwa para hakim karier telah banyak terinvolusi oleh praktek “mafia peradilan.” Selain itu mereka dinilai tidak cakap pengetahuan, setelah dilakukan fit and proper test di depan DPR. Fakta ini semakin jelas setelah Komisi Yudisial menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang melakukan seleksi Hakim Agung sebelum dihadapkan ke DPR.

Kedua, melakukan benchmarking untuk membangun kelembagaan Mahkamah Agung baru yang lebih sempurna. Tetapi yang terlihat lembaga ini belum berubah, justru tampak “aneh.” Artinya masih seperti ketika awal digabungkannya Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara ke dalam Mahkamah Agung, hanya ditambah dengan beberapa struktur baru di lingkungan sekretariat. Sehingga tidak lazim seperti kelembagaan Mahkamah Agung pada umumnya.

Namun seperti apapun bentuk lembaganya, Mahkamah Agung harus dapat menjalankan fungsi sebagai pemberi keadilan (justice dispenser function) kepada pencari keadilan. Karena secara lembagawi, institusi ini memang merupakan tempat untuk mencari keadilan terakhir (the last line of justice).

Untuk dapat mewujudkan fungsi itu, maka ada dua hal yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pertama, meningkatkan kemampuannya dalam penyelesaian perkara (competence in settling cases). Agar selain setiap perkara yang masuk dapat diputus sesuai dengan kalender penyelesaian, juga perkara yang masih menumpuk dapat diprioritaskan penyeselsaiannya.

Kedua, meningkatkan kecermatan dalam memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. Ini tentu merupakan hal yang sangat penting, mengingat fungsi yang satu ini sering “digugat” oleh masyarakat. Bahkan harapan buah reformasi hukum segera terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan, semakin jauh ditinggalkan oleh lembaga ini. Lebih dari itu, para ahli hukum menyebut era sekarang ini sebagai masa bencana pemberian keadilan (era of disaster in justice dispenser function).

Barangkali gambaran seperti itu adalah fakta yang tidak jauh berbeda dengan eksistensi organisasi negara lainnya yang bersifat sentralistik. Luasnya rentang kendali dan alpanya pembagian tanggung jawab (burden sharing) menyebabkan organisasi tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, meskipun berbagai upaya telah dilakukan. Sebagaimana juga hal yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung, termasuk penambahan jumlah Hakim Agung dan perpanjangan usia pensiunnya.

Selain itu filosofi bahwa “bangsa ini tidak bisa diperbaiki, tetapi harus diubah” dapat dijadikan pertimbangan untuk memikirkan alternatif lain cara pembenahan Mahkamah Agung. Dimana salah satu alternatif itu adalah membuat “bangunan fiktif” Mahkamah Agung Regional yakni dengan cara membagi perkara yang masuk ke dalam 6 region (wilayah), untuk kemudian setiap region dibebankan tanggung jawab penyelesaiannya kepada 9 Hakim Agung (mengingat jumlah Hakim Agung adalah 54 orang). Atau agar dapat lebih sempurna memang bangunan Mahkamah Agung Regional itu “diwujudkan secara nyata” dalam 6 region yang telah ditetapkan. Sehingga lebih menjamin terwujudnya proses peradilan yang murah, cepat dan adil. Tidak semuanya di poll di Jakarta seperti saat ini. Untuk hal ini tentu harus hati-hati, karena diperlukan amandemen UUD 1945, mengingat Pasal 24 ayat (2) menghendaki “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung …”

Memang alternatif yang diusulkan itu belum tentu merupakan langkah yang terbaik, tetapi akan merupakan tantangan bahwa setiap Mahkamah Agung Regional akan berusaha menjadi yang terbaik. Dan buruk rupa “sebuah” Mahkamah Agung tentu tidak lagi merupakan “kematian peradilan Indonesia”.

Sumber:
https://kolierharyanto.wordpress.com/2007/04/09/mahkamah-agung-regional/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *