Komitmen Bersama Penegak Hukum Perangi TPPU
Oleh Dr. I Ketut S. Lanang P. Perbawa, SH.MHum
DEWASA ini tindak pidana pencucian uang meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intesitas maupun kecanggihanya. post media cetak maupun elektronik hampir tiap hari menyampaikan terkait tindak pidana pencucian uang, terutama yang dilakukan oleh pejabat baik pusat maupun daerah dengan tindak pidana utamanya korupsi.
Walaupun banyak tindak pidana yang lain seperti narkotika, terorisme, trafficking women an children, arms trafficking dan kejahatan yang lainnya, yang dalam Pasal 2 UU 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, ada 26 poin kejahatan yang bisa dijerat tindak pidana pencucian uang.
Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor.
Negara-negara yang tergabung dalam G-7 di Paris tahun 1989 mendirikan Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), merupakan badan antarnegara yang bertujuan untuk membangun kerja sama internasional dalam menghadapi kejahatan pencucian uang.
FATF mengeluarkan rekomendandasi yang dapat membantu negara-negara dalam upaya memerangi dan mencegah tindak pidana pencucian uang. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.
Pencucian uang sederhananya adalah “bersih-bersih” terhadap uang atau harta agar pihak lain tidak mengetahui bahwa uang tersebut sebenarnya berasal dari hasil kejahatan atau tindak pidana. Dulu, upaya bersih-bersih itu sering melalui bank karena memang menjadi tempat menyimpan uang. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kompleksitas sistem keuangan serta semakin canggihnya modus operandi pelaku pencucian uang, pencucian uang bisa melalui cara-cara lain, misalnya melalui pembelian barang dan jasa.
Contoh, lelang barang antik, atau kolektor lukisan mahal atau melalui jasa pengiriman uang yang belum terlacak atau diluar sistem perbankan. Pencucian uang dalam transaksi atau sistem pembayaran di luar perbankan juga sebenarnya berpeluang tinggi.
Bank Indonesia juga sudah mengeluarkan aturan yaitu menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/3/PBI/2012 tanggal 29 Maret 2012 tentang Program Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank.
Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai penerapan program Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) yang harus diterapkan oleh penyelenggara jasa sistem pembayaran.
PBI tersebut baru diberlakukan mulai 8 Juni 2013, atau masih lebih dari satu tahun lagi. Mungkin BI perlu mensosialisasikan peraturan ini kepada semua lembaga terkait. Aturan tersebutnya harusnya mengatur secara teknis terkait dengan sistem pembayaran dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, seperti e-money, e-payment dll, yang sekarang semakin banyak digunakan oleh masyarakat, termasuk untuk mengirimkan uang dari atau ke luar negeri.
Dalam Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencengahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Peraturan Kepala PPATK Nomor 11/1.02/PPATK/06/2013 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, transaksi mencurigakan adalah:
“Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: (a) Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;(b) Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; (c) Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau (d) Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.”
Pemantauan transaksi keuangan mencurigakan merupakan wewenang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menurut UU No.8 Tahun 2010, PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
Namun, transaksi keuangan mencurigakan juga bisa berdasarkan laporan dari lembaga yang diberi hak dan wewenang untuk melaporkan, seperti bank, lembaga keuangan non-bank, pedagang valas, jasa pengiriman uang, dll seperti diatur dalam Undang-Undang atau peraturan pendukungnya.
Parameter transaksi mencurigakan ditentukan berdasarkan transaksi pengguna jasa yang antara lain meliputi rata-rata Transaksi, frekuensi Transaksi, tujuan Transaksi, nominal Transaksi, jangka waktu Transaksi, instrumen Transaksi, portofolio Pengguna Jasa dan produk penyedia jasa keuangan.
Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama antarpenegak hukum agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan dari korupsi dan tindak pidana lainya dapat diminimalisasi.
PPATK sebagai ujung tombak penegakan hukum tindak pidana pencucian uang di Indonesia harus terus melakukan kerja sama baik antar-instansi penegak hukum yaitu KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, yang diikuti juga oleh lembaga negara, pemerintah pusat dan daerah.
Kerja sama tersebut harus dilakukan secara formal sekaligus seluruh penegak hukum dan penyelenggara pemerintahan harus memberikan contoh untuk menyampaikan laporan kekayaan pribadinya kepada publik sebagai bentuk transparansi dan untuk menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat. Selama ini laporan harta kekayaan pejabat negara baru pada pucuk pimpinan saja, itu pun hanya beberapa pejabat saja.
Hal ini perlu disebar luaskan sampai daerah agar penegak hukum dan penyelenggara pemerintahan dari pusat sampai daerah juga melakukann pelaporan harta kekayaan sekaligus melaporkan nomor rekening bank, sebagai wujud komitmen bersama untuk mencegah korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Sehingga kepercayaan masyarakat akan muncul, sekaligus juga akan memudahkan dalam penegakan hukumnya.
Kalau KPK sudah melakukan kerjanya bagi koruptor yang besar, maka pencegahan yang kecil juga harus dilakukan mulai dari tranparansi keuangan melalui laporan harta kekayaan seluruh penegak hukum dan penyelenggara pemerintahan baik pusat dan daerah termasuk BUMN dan BUMD.
Selain itu kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral yang lebih maksimal dengan negara-negara lain untuk bersama-sama menanggulangi kejahatan pencucian uang, di mana transaksinya juga dilakukan lintas negara.
*Penulis adalah Mantan Ketua KPU Provinsi Bali
Berita:
https://sandimerahputih.com/komitmen-bersama-penegak-hukum-memerangi-tindak-pidana-pencucian-uang/